Heyyaaa~ Aku post cerpen nih! Sebenernya udah pernah dipost diblog lama aku, tapi blog usang itu terlupakan passwordnya. So, i repost ceritanya kesini deh. Owkeeey tak usah banyak cakap lagi...Happy reading gals^_^
CHECK THIS OUT...
Matahari belum muncul di ufuk timur. Bulan pun masih menghiasi langit.
Aku. Disini. Sendiri dalam kelamnya dunia baru. Aku ada, namun aku tak nyata.
Aku ada di sekeliling mereka, berkelana. Aku tidak mati, belum. Namun aku
sedang dalam proses menuju kematian, mungkin saat itu tiba. Aku akan
benar-benar tak ada.
Sinar. Itu namaku. Nama itu amat tepat untuk diriku. Aku ada saat sinar datang,
aku pergi saat sinar tenggelam. Oleh sebab itu aku suka Matahari. Senyumku
merekah saat menyaksikan mentari yang lambat laun menanjak—hingga menyingkirkan bulan.
Tanpa melangkah. Ku telusuri jalan raya ini dengan riang gembira. Aku bernyanyi
senang di temani kicauan burung dara sambil menari-nari kecil. Betapa indahnya
pagi ini. Tapi, aku terdiam di depan sebuah pagar besi yang terdapat barisan
celah untuk melihat sesuatu di dalamnya. Seorang pria terduduk pada kursi
rodanya dengan pandangan kosong. Aku melaju menghampirinya, menembus pagar ini.
Aku sedikit membungkuk melihatnya lebih dekat, amat dekat. Ku perhatikan
wajahnya, keningnya yang terbalut kain putih, ke dua mata elangnya yang kosong.
Pandangannya beralih. Aku harap aku salah. Ia seperti tengah menatap bola
mataku. Kepalaku menoleh ke belakang, tak ada apapun. Apa benar?
"Kau kenapa melihatku seperti itu?" Sontak aku berdiri tegap dan agak
menjauh. Dia benar-benar melihatku. Astaga, kenapa bisa?! Aku menoleh
kiri-kanan. "Kamu bicara padaku?"Tanyaku membuka suara. Dia
mengangguk tersenyum. Ku tutup mulutku dengan kedua telapakku terperangah.
"Ya,aku melihatmu. Apa kau nyata?" Lidahku
kelu mendengar pertanyaannya. Jemari tanganku tak hentinya bergerak sejalan
dengan otakku yang terus berpikir. "Aku nyata, tapi...tak sepenuhnya
nyata. Jadi, aku sebetulnya nyata."Jelasku gugup. Dia menganggukan
kepalanya dua kali. "Berarti kau hantu,ya?"Tambahnya dengan wajah
penasaran. Mataku membulat seketika.
"Bukan. Bukan. Belum sepenuhnya hantu, nanti. Ya, mungkin nanti.
Tapi, belum. Ku harap sih tidak."Lagi-lagi aku tak dapat mengucapkan kalimat
dengan tenang. Mungkin karena ini pertama kalinya setelah hampir dua bulan aku
tak berbicara dengan seseorang, karena orang-orang tak dapat melihatku. Bahkan
keluargaku pun tak bisa.
"Oh"dehamnya pelan. "Namamu siapa?"Tanyaku. Belum ia
menjawab, ada seorang suster datang dan membawanya masuk ke dalam gedung rumah
sakit itu. Ia menoleh ke arahku sesaat. Aku kan bisa, kenapa aku tidak masuk
saja?iya kan? Yup, aku pun masuk ke dalam gedung RS ini.
Ku ikuti ia dan suster yang mendorong kursi rodanya melewati lorong rumah
sakit. Mereka memasuki Lift, pria itu tersenyum
melihatku yang berjarak 10 meter darinya. Saat pintu lift akan tertutup, dengat cekatan aku masuk
sebelum kedua pintu otomatis itu menyatu. Yaa, walau sekalipun tertutup aku
masih tetap bisa melewatinya.
"Menikmati udara di sekeliling ikon hijau pun, aku tak bisa. Hanya
berbaring menunggu kepastian. Keajaiban."Ucapku lirih menatap sesaat
padanya, tersenyum tipis. Pria bernama Natan ini sedang berada di kasur
empuknya, pria yang ku temui di halaman rumah sakit tadi. Ternyata namanya
Natan. Dia baik, bahkan ia mau mendengarkan curahan hatiku.
"Aku tak terlalu percaya dengan keajaiban. Jadi, intinya...Ragamu yang
sesungguhnya itu sama seperti ku? terbaring di rumah sakit?"Dia nampak
penasaran dan tak percaya. Aku mengangguk. Aku menghampirinya dan duduk di sisi
kasurnya.
"Tapi, aku belum menemukan dimana ragaku berada. Memang aneh, tapi
sungguh. Aku bahkan tak tau tempat ini sebelumnya."Sambungku. Natan
terdiam. "Apa kau tak coba untuk menemukannya?"
"Selalu. Namun tak kunjung ku temukan, hingga suatu malam ada sumber suara
yang memberitahuku bahwa saat waktunya tepat, aku akan terpanggil ke
ragaku."Natan mengangguk-angguk.
Lusanya aku bertemu dengan Natan lagi di rumah sakit ini. Kami berbincang
sesekali bercanda. Terkadang orang-orang di sekitar ada yang menatap aneh ke
arah Natan. Namun sepertinya ia tidak terlalu perduli tentang itu. Kami kan
sedang asik bercengkerama di taman belakang rumah sakit ini.
"Iya, sungguh. Bahkan adikku pernah berteriak Heeeey aku perompak di pantai kuta jadi
kalian harus membayarku dua ribu jika ingin aman! Bayangkan, perompak
mana yang memalak penduduk daratan dengan uang dua ribu rupiah?" Aku
tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya, dia pun begitu. Orang-orang makin
menatap Natan heran, bahkan ada beberapa yang beranjak dari tempat. Takut
mungkin.
"Haha, ada-ada saja. Aduh, perutku sakit karena terlalu banyak tertawa.
Hahaha."Ucapku di tengah tawaku sambil memegangi perutku. Makin lama
tawaku mereda begitu juga Natan, aku memperhatikannya sesaat. Dia manis juga
jika di perhatikan lebih jelas. Ehh? Berpikiran apa aku ini? Tidak benar.
"Kau kenapa, Sin?"Tanya Natan dengan sunggingan senyum yang belum
sepenuhnya pudar karena tawa tadi. Aku menggeleng cepat.
***
Berhari-hari hampir dua minggu aku sering meluangkan waktu bersama Natan. Aku
senang pada akhirnya ada juga yang menemaniku di hari-hari sepi tak pastiku
ini. Terkadang dia menceritakan tentang status keluarganya yang sudah broken
home. Tapi tentunya sebagai teman aku ingin mensupportnya supaya tidak sedih
seperti pada saat aku bertemu dengannya pertama kali.
Aku menari-nari kecil melewati bahu jalan ini. Suasana sedang cerah sekali.
Pasti asik jika aku dan Natan bermain. Ku telusuri lorong rumah sakit, berhenti
di depan kamar bernomor 224. Saat masuk. Keningku langsung berkerut. Karena
pasien yang aku lihat adalah orang lain, bukan Natan temanku.
Aku kembali ke belakang. Ahh, andai aku bisa bicara aku ingin bertanya dimana
Natan. Oh Tuhan, aku kembali dengan wajah ku tekuk. Aku duduk di bangku taman
rumah sakit yang biasa menjadi tempatku dan Natan berbincang ria.
Waktu sudah hampir senja. Aku berkeliling kota ini—Kota yang tak ku ketahui sama
sekali biodatanya. Aku berhenti pada sebuah restaurant. Aku melaju memasuki
restaurant itu. Kiri-kanan. Aku menoleh kesana-kemari, entah mencari apa. Namun
pandanganku berhenti pada sepasang kekasih yang sedang duduk di meja pojok
restaurant. Aku mendekatinya kemudian duduk di meja makan belakang mereka,
tepatnya di kursi.
Andai aku nyata, aku pasti akan ajak Natan
makan malam. Ehh? Tapi tak bisa. Masa wanita duluan yang mengajak pria
dinner? Celotehku
dalam hati. Aku bertopang dagu menatap mereka. Hingga mereka berdiri. Aku
langsung terbelalak saat mengetahui pria dari sepasang kekasih itu—Natan. Dia Natan. Aku sontak
bangkit mengejar mereka dari belakang.
"Apa seperti ini kamar lelaki?"Gumamku memperhatikan ruangan
berantakan yang Natan masuki. Ia menoleh kaget kearahku, aku cuma menampilkan
deretan gigiku padanya.
"Lho?kok kamu ada di sini?"Ucapnya menatapku heran. Aku tertawa kecil
dan mendekati balkon kamarnya. "Habis kau keluar rumah sakit ga
bilang-bilang, jadi aku bikin kejutan deh ketemunya."Gurauku. Terdengar
Natan mendengus pelan.
"Wanita tadi itu siapa?"Tanyaku angkat bicara karena
keheningan yang sempat terjadi. "Pacarku"jawabnya singkat. Aku
langsung terlonjak kaget. Rasanya ada benda tajam menghantam dadaku—Sesak.
"Ohh"tanggapku mencoba tenang. Natan
mengganti bajunya, tentunya aku tak mengintip. Setelah itu ia tidur di kasur
besarnya. Aku menatapnya sesaat, kenapa aku merasa ada perubahan pada Natan?
Atau ini hanya perasaanku saja?
Pagi menjelang. Aku melihat Natan yang sedang memakan sarapannya. Aku
menghampiri dan duduk pada kursi di hadapannya. Ia tak melirik ke arahku
sedikitpun. Aku mengetukan jemariku, walau tak timbul suara.
"Umm, Natan...Apa kau mau menemuiku di rumah sakit tempatku berada jika
suatu saat ruh-ku kembali ke ragaku?"Tanyaku semangat. Natan masih
mengunyah makanannya. "Aku tak tau dimana rumah sakitmu, kau sendiri
bahkan tak tau."Jawabnya datar.
"Rumah sakit tempatku itu namanya Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, tapi
aku gatau kalau dari sini bagaimana kesananya."Ucapku lesu. Natan tak
menanggapi ucapanku. Ia bangkit dari duduk nya dan sepertinya akan pergi
kuliah. Aku menghela nafas saat ia benar-benar lenyap di balik pintu tanpa
mengabaikan ucapanku. Huh, lebih baik aku berkeliling.
Aku berkeliling tak tentu arah. Melihat ini dan itu. Pemandangan siang
menjelang sore yang menyejukan. Pandanganku menyapu taman kota ini. Hingga aku
agak menyipitkan kelopak mataku saat melihat seseorang tak jauh dariku. Dia?
Dia pacar Natan, kan? Astaga, kenapa dia bersama pria lain? Aku mendekatinya.
Mereka tak menyadariku, tentunya. Dan, dan, Astaga! Mereka berciuman.
Kenapa wanita ini tega pada Natan? Dengan amarah yang bergemuruh rasanya ingin
ku memberikan telapak tanganku di pipi wanita itu.
Dengan rasa dongkol aku berbalik kembali
menuju rumah kediaman Natan. Ia belum pulang. Mungkin aku akan menunggunya.
Pukul lima kurang ¼ sore ia datang. “Natan!”Panggilku padanya. Ia menoleh
sesaat padaku setelah meletakkan tasnya pada gantungan di balik pintu.
“Kekasihmu itu bukan wanita baik-baik, Natan!”Ujarku to the point. Natan Nampak
kaget mendengar ucapanku.
“Tau apa kau
tentang kekasihku,hah?Kenal saja tidak.”Tanggap Natan ketus seraya berjalan
menjauhiku menuju dapur, tapi aku mengikutinya. “Kamu harus percaya,
Natan. Tadi aku sendiri yang melihat kekasihmu sedang berciuman dengan pria
lain.”Ucapku jujur. Ia membalikan badannya menghadapku, wajahnya memerah.
“Kau! Apa-apaan kau bicara seperti itu, hah?Jangan menjelek-jelekan kekasihku
di hadapanku! Sekarang juga kau PERGI DARI RUMAHKU!” Bentak Natan. Baru kali
ini aku melihat Natan semarah ini—Dan itu padaku. Hatiku bagai teriris beribu
pedang. Sakit. Ke-dua mataku terasa perih, namun tak keluar air mata. Aku,
hanya menunduk. Aku terisak. Terngiang terus bentak-kan Natan di telingaku.
Hingga saat itu juga aku merasa—Melayang tinggi, setinggi-tingginya.
***
“Dok ! Sust !
Putri saya Dok ! Cepat Doooook!!”Teriak Aisyah panik saat melihat Sinar yang
kejang-kejang secara tiba-tiba. Para suster dan seorang Dokter memasuki ruang
rawat Sinar. Firman, Ayah Sinar. Membimbing istrinya untuk keluar ruangan
karena perintah Dokter yang menangani Sinar. Walau berat Firman dan Aisyah
keluar ruangan dan duduk bersama di ruang tunggu. Para medis melaksanakan tugas
mereka. Tak lama Dokter tadi keluar dari ruangan Sinar, saat itu pula orang tua
Sinar bangkit dari duduk mereka. Dengan tujuan yang sama—Bertanya keadaannya.
“Kita amat patut bersyukur pada Allah Yang Maha Kuasa. Setelah hampir tiga
bulan Nona Sinar tidak tersadar dari komanya, sekarang ia sadar dengan keadaan
yang tak dapat diduga. Ini sebuah keajaiban, Kanker Otak yang ada pada Nona
Sinar kini tak berbekas. Tampak normal.”Jelas Dokter itu tersenyum.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah Engkau telah sembuhkan putriku.” Puji
syukur Aisyah, begitu juga ayah Sinar. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan
Sinar. Terlihat Sinar tersenyum pada ke-dua orang tuanya.
“Ayah…Ibu, Aku kangen banget sama kalian.”Ucap sinar. Saat itu pula tangisnya
pecah. Ia memeluk ke-dua orang tuanya erat. “Keajaiban itu emang ada, Bu. Dan
aku benar.” Tambah Sinar terisak disertai senyum lemah. Aisyah tersenyum dengan
air mata yang menyapu lembar pipinya.
“Iya. Kamu benar, sayang. Keajaiban itu emang ada. Yang mustahil terkadang
dapat menjadi kenyataan.” Balas Aisyah seraya mengelus lembut rambut putrinya
itu dan mengecupnya. Seketika itu, terlintas wajah Natan dipikiran Sinar. Tak
terasa butiran bening mengalir lagi dari kelopak matanya.
Di Lain Tempat…
“Oh, Jadi benar ya? Kayak gini ternyata sikap asli lo, Hah? Cewek murahan !”
Satu tamparan mulus mendarat di pipi Kekasihnya dari—Natan. Wanita itu berderai
air mata, meminta waktu untuk menjelaskan sesuatu yang sama sekali tak ingin
Natan dengar.
“Sayang, tunggu dulu! Kamu salah paham! Pliss, dengerin aku!”Pinta wanita itu
memelas sambil memegang lutut Natan yang ada di hadapannya. Saat itu juga Natan
menepis kaitan tangan wanita itu dan berlalu pergi. Berkali-kali wanita itu
memanggil namanya, namun Natan terus berjalan tanpa memperdulikannya.
Bego lo Natan! Kenapa
gua gak percaya ucapan Sinar waktu itu, Bego Bego Bego! Sekarang sinar gak akan
pernah kembali lagi. Natan menjambak rambutnya sendiri. Ia tersadar satu hal yang
ia rindukan saat ini –Sosok periang Sinar di balik kehidupan kelamnya. Memoriam
itu bagai terekam di kepalanya, menampilkan semua yang sering mereka lakukan
bersama saat dirinya masih di rawat di rumah sakit.
“RS Mitra Keluarga Depok. Ya, gua harus ke sana.”Gumam Natan pada dirinya sendiri. Ia mengambil kunci motornya dan berlalu menuju Rumah Sakit itu. Ia menempuh perjalanan 2 ½ jam.
Setelah memarkirkan motornya Natan memasuki RS.Mitra ini dan naik ke lantai
dua. Ia menghampiri seorang Suster yang tak jauh darinya. Dengan gelisah ia
bertanya pasien bernama Sinar di Rumah Sakit ini. “Ada Tiga pasien yang bernama
Sinar di rumah sakit ini. Maaf, untuk lebih jelas Pasien yang anda maksud
mengalami penyakit apa?”Tanya Suster itu setelah mencari data pasien dari
komputer. Natan terdiam, Sinar belum pernah memberitahu penyakitnya pada Natan.
“A-a, Saya ga tau Sust dia sakit apa. Tapi yang saya tau dia ga sadar
berbulan-bulan dari koma-nya.”Jelas Natan kemudian. “Ohh, Iya. Ada satu pasien
kami bernama Sinar Zulaika Utama yang belum lama ini tersadar dari koma-nya.
Mari saya antar ke ruangannya.”Jawab Suster itu ramah. “Terima kasih,Sust!”Ucap
Natan senang.
“Permisi, Nona Sinar. Ada yang ingin bertemu dengan anda.” Seorang Suster
muncul dari balik pintu ruang rawat Sinar yang sedang duduk di kasurnya, ia
tersenyum mengizinkan. Seperdetik kemudian, Kedua mata Sinar membulat melihat
siapa yang datang.
“Natan” Lirih Sinar tercengang. Natan mendekati Sinar dan berdiri di samping
kasur wanita ini. Lagi-lagi Sinar menangis. Perlahan jemari Natan menyapu air
mata yang mengalir pada lembar pipi Sinar lembut. “Aku percaya denganmu. Maaf
aku baru sadar sekarang.”Ucap Natan menatap Kedua manik Sinar dalam. Ke-dua
orang tua Sinar Nampak bingung, namun mereka mengerti dan keluar dari ruangan
Sinar—Meninggalkan
mereka berdua.
“Jadi?Kamu udah tau?” Tanya Sinar heran. Natan
mengangguk. Sinar tersenyum mendengarnya. Dalam sekejap ia memeluk Natan erat—Seerat-eratnya. “Aku
mencintaimu”bisik Sinar tiba-tiba, sangat lirih. Namun Natan tetap
mendengarnya. Natan melepas pelukannya dan memegang kedua bahu Sinar. Wajah
Sinar mulai memerah, bercampur rasa malu dan juga takut.
“Aku cinta juga ga yaa?”Tanya Natan tersenyum jahil di susul dengan tawa kecil.
Sinar mencubit pelan perut Natan. "Nyebelin ah"Celoteh Sinar
cemberut.
Tak henti disana, Sinar menggelitiki Natan—Lagipula infuse di tangannya sudah di lepas.
“Ssst!”Desis Natan saat sudah dapat mengunci ke-dua tangan Sinar. Mereka saling
bersitatap. Makin lama wajah Natan mendekat ke wajah Sinar. Semakin dekat. “Aku
juga mencintaimu, Sinarku.” Bisiknya lembut. Tulus.
SELESAI...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar