***
#BUKK! #BUKK! #BUKK!
Tiga bogeman keras dari
Kevin menghantam wajah Ryan. Suasana belakang sekolah amat riuh, beberapa
saling berbisik dan mendekati temannya. Beberapa dari mereka juga bersorak
menyaksikan pertunjukan dua pria itu.
"Lo berani mainin Chaca sama aja lo cari mati sama gue!"
Kelakar Kevin dengan emosi menggebu, kemudian #BUKK satu pukulan lagi terdampar
dipipi Ryan.
"Apa maksud Lo, hah?" Sewot Ryan mencoba bangkitkan badannya,
sedangkat Kevin masih tetap mencengkeram kerah kemeja Ryan yang berada dibawah
badannya amat erat.
"Ga usah pura-pura bego, Banjingan Lo!" Seseorang menahan lengan
Kevin ketika Ia akan menambah bogemannya di wajah Ryan yang sudah babak
belur—Chaca.
"Kalian kenapa? Kevin! Apa yang Lo lakuin?" Ucap Chaca setengah
berteriak. Butiran bening tengah terbendung dimatanya. "Berhenti! Kevin,
berhenti." Chaca kini meminta dengan nada halus. Kevin melepas
cengkaramannya pada kerah kemeja Ryan kasar, kemudian berdiri menjauhinya. Baru
saja Chaca akan menghampiri Ryan, lengannya dicekal dan ditarik menjauhi
kekasihnya itu.
"Lo apa-apaan sih, Lepas! Gue mau liat keadaan Ryan." Chaca
berusaha menepis tangan Kevin yang menggenggamnya, namun nihil.
"Cowok kayak gini yang Lo anggap sebagai pacar? Lo harus tau, Cha!
Ceweknya itu bukan cuma Elo!! Lo dibegoin Cha ama dia!"
"Apa maksud Lo?" Tanya Chaca menatap Kevin menunggu jawaban.
"Cha, jangan dengerin omongan dia! Aku bisa jelasin!" Seru Ryan yang dengan gontai
dapat berdiri dengan sempurna. Chaca tak mengiraukan Ryan. Tiba-tiba seorang
cewek datang menghampiri Ryan dengan mimik khawatir.
"Yan, kamu gapapa? Tadi aku denger kamu dipukulin. Siapa yang mukulin
kamu?" Tanya gadis itu bertubi-tubi seraya memegang lembut lembar pipi
Ryan. Chaca yang melihat itu cuma terpelongo ga percaya, kini Ia paham maksud
ucapan Kevin. "Apa ini gara-gara Lo?" Tuduh Gadis itu menatap Chaca
tajam.
"Gue ga ngerti. Lo siapa?" Tanya Chaca datar.
"Gue Anggun. Pacar Ryan."
"Stoppp! Cha, kamu harus denger penjelasan aku dulu." Ryan menatap
Chaca penuh harap. Belum ada reaksi atau balasan balik dari Chaca sedari tadi.
"Sejak kapan Lo pacaran ama Ryan?"
"Chaa!" Pekik Ryan tercekat karena menahan perih dibibirnya yang
mengeluarkan bercak darah.
"Yang jelas gue ini pacar benerannya Ryan, ga kayak Lo.
Cewek yang cuma dijadiin taruhan ama Ryan dan temen-temennya. Lo seharusnya nyadar
diri dong! Mana mungkin seorang Ryan suka apalagi sampe nembak cewek kayak Lo
buat jadi pacarnya! "
Hati Chaca bagai
tersayat-sayat pedang runcing. Ternyata benar, sakit hati itu memang tidak
enak. Amat menusuk. Lebih sakit dari pada tergores silet. Lebih perih
dibandingkan terguyur air panas. Chaca dapat merasakannya sekarang. Sungguh Ia
merasa dirinya seperti gadis tidak tau malu. Chaca teringat akan malam
itu...Malam Ia dengan polosnya menerima pernyataan suka dari pria yang memang
Ia sukai sejak lama, namun ternyata orang yang Ia kagumi itu justru
mengiris-iris hatinya.
"Jadi..." Lirih Chaca. Air matanya sudah tak dapat terbendung lagi
dan pecah begitu saja.
"Chaa...kamu harus denger penjelasan aku dulu! Semua yang kamu denger
ga seperti yang kamu pikirin." Ryan kini berada dihadapan gadis itu, gadis
yang telah sangat Ia sayangi. Chaca menepis kedua tangan Ryan yang sempat
menggenggam kedua tangannya.
Tanpa berpikir panjang
Chaca berlari meninggalkan tempat penuh orang namun sunyi tersebut. Kevin dan
Anita memilih membiarkan sahabat mereka itu, sepertinya Chaca butuh waktu untuk
sendiri.
"Puas Lo udah buat sahabat gue kayak gitu? Brilliant! Lo udah nyakitin
perasaan cewek polos yang amat sayang sama Lo! Great!" Seru Anita marah tepat
didepan wajah Ryan. Nampak kekesalan terpancar jelas diwajahnya.
Ryan terdiam. Dia emang salah, tapi kini keadaannya
berbeda. Sekarang dia benar-benar merasa dirinya brengsek. Dia melukai perasaan
gadis yang Ia cintai.
***
Hari ini adalah hari yang
siswa-siswi tunggu-tunggu yaitu pengumuman kelulusan akan dibagikan. Rata-rata
yang datang adalah orang tua siswa, namun ada juga beberapa yang datang bersama
atau bahkan sendiri karena orang tua mereka sedang mengalami kesibukan.
Ibunda Chaca berjalan
menuju kelas putrinya, karena disana tempat pengumuman dan pemberian hasil
nilai. Setelah kurang lebih satu jam, wanita paruh baya itu keluar dengan
senyum merekah sambil memandang kertas ditangannya.
"Permisi, Tante? Tante ibunya Chaca, kan?" Ucap pria yang
tiba-tiba muncul didepan Mama Chaca.
"Iya, ada apa ya?"
"Saya Ryan, Tante. Kalau boleh tau Chaca ada dirumahnya atau engga?
Bisa saya bertemu Chaca, Tante? Ada hal penting yang harus saya bilang ke
dia." Jelas Ryan agak gugup. Ia takut Ibunda Chaca sudah tau
permasalahannya dengan Chaca.
"Ohh, ternyata kamu Ryan yang suka Chaca ceritain itu ya? Chaca ada kok
dirumah. Kalau mau ketemu Chaca bareng aja ama tante, ini tante mau pulang.
Kasian Chaca cuma sama pembantu di rumah." Balas Mama Chaca dengan senyum.
Ryan bernafas lega mendengarnya. Berarti Ia bisa bertemu Chaca dan menjelaskan
semuanya.
Sesampainya di rumah Chaca.
Ryan diizinkan untuk menghampiri Chaca di kamarnya. Dengan agak ragu Ryan
mengetuk pintu kamar berwarna merah muda dihiasi tirai gantung berbentuk Cinta
dan Bunga.
"Masuk aja, ga Chaca kunci kok." Teriak seseorang yang sudah dapat
ditebak itu adalah Chaca.
Sambil menarik nafas
panjang Ryan masuk kedalam tanpa bicara apapun. Tidak dilihatnya Chaca
diruangan yang berdominasi warna merah muda dan ungu tersebut. Ia hanya
mendengar suara gemercik air dari balik pintu yang sepertinya sebuah kamar
mandi. Ryan berjalan melihat-lihat bingkai foto yang ada disana.
Ada berbagai macam foto Chaca dengan gaya berbeda-beda dideretan bingkai
yang ada diatas kepala tempat tidurnya. Ryan tersenyum sendiri melihat wajah
imut Chaca dibalik kaca itu.
Pandangan Ryan jatuh pada
sebuah foto yang terletak diatas rak samping kasur Chaca. Disana terdapat
keluarga kecil yang terlihat bahagia. Ryan yakin anak kecil ditengah kedua
orang tua itu adalah Chaca. Tidak heran Chaca tumbuh menjadi gadis yang manis,
karena sejak kecil pun sudah terlihat lucu.
#Cekrek! Pintu kamar mandi terbuka
dan terlihat Chaca yang sudah lengkap dengan kaos putih longgar dan hotpantsnya
keluar seraya mengeringkan rambut cokelat panjangnya itu dengan handuk.
"Elo? Ngapain lo di rumah gue?" Tanya Chaca ketus saat menyadari ada
Ryan sedang duduk disisi kasurnya.
"Emang kenapa? Ga ada salahnya kan kalau aku main ke kamar pacar aku sendiri."
Dengan watadosnya Ryan berucap seperti itu. Chaca terlihat geram melihat Ryan
yang bersikap seperti tidak punya masalah, begitu santai.
"Lo bukan pacar gue lagi. Cepet lo keluar atau gue teriak biar lo
diusir ama mama gue!" Usir Chaca kini berdiri disamping tempat tidur
dimana Ryan duduk disana. Ryan berdiri dari tempatnya. "Sekarang Lo
ke—" Ucapan Chaca terhenti karena Ia tidak bisa membuka pintu kamarnya.
"Ini kenapa..Bibiii pintunya ter—mmmb!" Ryan menarik Chaca dan
menutup mulut gadis itu dengan telapal kanannya, sedangkan tangan kirinya
menahan pinggang belakang Chaca.
"Sst! Gimana kalo ada yang dateng? Aku yang mengunci pintu kamar kamu."
Ucap Ryan. Chaca menatap tajam Pria dihadapannya itu seraya mencoba berbicara.
Tiba-tiba Ryan tertawa kecil. "Kamuu lucu ya kalo lagi marah, ngegemesin!"
Ryan terkekeh menatap wajah Chaca yang tepat didepan wajahnya. Tangannya
melepas mulut Chaca.
"Mau apa lo kesini?" Tanya Chaca to the point saat Ryan
telah melepas bekapannya.
"Aku mau jelasin tentang kejadian minggu lalu"
"Semua udah jelas. Lo ga perlu jelasin apapun lagi, jadi mending
sekarang lo pulang." Ucap Chaca sinis.
"Kamu salah paham, Cha! Emang aku bego udah mainin dan jadiin kamu
bahan taruhan tapi aku bener-bener sayang Cha sama kamu! Aku udah suka ama kamu
dari awal kita jadian malam itu." Jelas Ryan, tapi Chaca justru memutar
maniknya ke arah lain. Bermaksud tidak mengacuhkan Ryan. "Cha...Untuk kali
ini aku ga lagi main-main atau bohongin kamu, Cha! Aku serius, aku bener-bener
sayang sama kamu!" Lanjutnya lirih.
"Terus, Anggun dan pacar lo yang lainnya mau dikemanain?" Ryan
nampak mulai sebal.
"Semenjak insiden itu, aku udah ga ada hubungan apa-apa lagi sama
Anggun. Sejak sama kamu semua rasa aku ke Anggun itu udah kayak ga berarti,
semuanya beralih kekamu. Ga ada yang lain, Cha! Cuma kamu." Tambah Ryan
geregetan.
"Oh"
"Kok cuma oh sih?"
"Terus, gue harus jawab apa?" Tanya Chaca terdengar menyebalkan
kini menatap bola mata Ryan.
"Cha, please percaya aku. Aku ga mau hubungan kita cuma sampai sini
aja." Ucap Ryan lembut. Lengan kanannya ikut melingkar pinggang Chaca menemani
lengan kirinya yang sedari tadi melekat disana tanpa Chaca sadari.
"Sorry, gue ga bisa." Ucap Chaca ingin melepas tangan
Ryan, namun Ryan justru memeluknya. Erat.
"Cha, please percaya sama aku. Aku bakal ngelakuin apapun supaya buat
kamu maafin aku, Cha!"
"Kita putus"
"A-apa?"
"Gue minta kita putus, dan gue maafin lo."
***
"Udahlah yan! Lagian, cewek ga cuma dia! Ngapain lo jadi kayak orang
frustasi gitu?" Dido dan teman-teman Ryan lainnya terkekeh melihat
so'ib-nya itu tengah melamun bersama gitar akustik ditangannya. Mereka
sedang berada di sebuah Kafe dekat sekolah untuk merayakan kelulusan mereka
dengan acara makan bersama.
Ryan menatap senar gitar
ditangannya—termenung. Tiba-tiba wajah Chaca muncul dibenaknya, walau memang
sedari tadi hanya gadis itu yang ada dikepalanya. Namun kini pikirannya
berputar cepat mengingat hari beberapa bulan lalu, percakapan itu kembali
terngiang dikepalanya...
"Hobi kamu apa?"
"A-aku suka denger musik"
"Ohh, sama berarti. Lagu kesukaan kamu apa?"
"Banyak sih, salah satunya yang paling aku suka Armada...Pemilik
Hatiku."
"Wah, sama lagi. Kita jodoh ya!"
"Yee, pingin banget sama."
"Iya, Yan! Cewek kuper gitu aja lu pusingin amat, Iya ga?" Indra
membuyarkan putaran memori yang sedang mengalun dipikiran Ryan tentang Chaca.
Teman-temannya yang lain menyetujui omongan pria itu. Ryan yang sedari tadi tak
bergeming dan tengah sedikit berbinar kini kembali down. Ryan bangkit dari
duduknya dan mendekati Indra dengan tangan mengepal. "Heh, kenapa
lo?" Ucap Indra terlihat tidak terima saat Ryan menarik kerah kemeja biru
kotak-kotak pria itu.
"Ini juga karena, Lo! Karena taruhan bodoh yang lo ciptain itu!"
Bentak Ryan, kemudian satu pukulan melayang sempurna dipipi Indra—membuatnya
tersungkur dari kursi.
" Lo juga terima, kan tawaran gue itu? Kalau Lo ga terima saat itu
mungkin Lo ga bakal kayak orang gila sekarang! Kenapa Lo nyalahin gue, hah? Itu
tuh murni kesalahan Lo dan pantes lo dapetin! Lo itu cowok yang ga punya
pendirian!"
"DIEM LO!" Bentak Ryan. Teman-temannya yang lain ikut bangkit untuk
meredakan suasana panas kedua pria ini. Sejak kejadian tadi pun para pelanggan
di Kafe itu terpaku menyaksikan pertunjukan lewat tadi. "Arrrh!" Ryan
membanting kepalan tangannya, kemudian beranjak dari Kafe itu bersama gitar
akustiknya.
Kedua kakinya melangkah lesu menuju
taman tempat mereka—Dia dan seorang gadis yang sulit dikatakan sebagai mantan
dalam dirinya. Ia benar-benar sudah seperti orang gila, atau lebih tepatnya
orang stres—Walau perbedaannya tipis. Rambut hitamnya itu acak-acakkan oleh
ulahnya sendiri. Saat sampai didekat lampu penerangan jalan yang tengah padam
disamping sisi taman. Langkahnya terhenti dan terdiam.
Sorot matanya tertuju pada seorang
gadis yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Seorang gadis yang betul-betul
hampir membuatnya gila saat ini—Chaca. Gadis itu tengah duduk dibangku kayu
disana, jemarinya bermain pada kelopak-kelopak setangkai bunga matahari
ditangannya. Ingatannya beberapa menit lalu itu kembali teringat. Walau sedikit
ragu untuk melakukannya. Tapi, dia tidak akan tau hasilnya jika tidak mencoba,
bukan? You'll never know if you never try.
Ryan mencuci wajahnya dengan air
keran yang ada didekatnya dan merapihkan rambutnya yang sempat amburadul. Ia
menarik nafas panjang, kemudian melangkah pelan menghampiri gadis tercintanya
yang sedang duduk termenung disana. Ryan mulai memetik senar gitar ditangannya
sambil terus melangkah lambat. Chaca terenyak mendengar alunan lagu. Ia menoleh
setelah Ia pikir itu adalah suara seorang penyanyi jalanan yang siap
menyanyikan lagu favoritnya, namun senyum itu runtuh melihat siapa yang
nyatanya kini tengah mendekatinya. Chaca terpaku.
Lihat ku disini
Kau buat ku menangis
Tak ingin menyerah
Tapi tak menyerah
Mencoba lupakan
Tapi ku bertahan
Tak ingin menyerah
Tapi tak menyerah
Mencoba lupakan
Tapi ku bertahan
Kau terindah kan selalu terindah
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku
Mungkin lewat mimpi
Ku bisa tuk memberi
Ku ingin bahagia
Tapi tak bahagia
Ku ingin dicinta
Tapi tak dicinta
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku
Mungkin lewat mimpi
Ku bisa tuk memberi
Ku ingin bahagia
Tapi tak bahagia
Ku ingin dicinta
Tapi tak dicinta
Kau terindah kan selalu terindah
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku
Chaca yang sudah berdiri memperhatikan
pria yang Ia rindukan beberapa hari ini sayu. Ingin rasanya Ia menangis setiap
mengingat memori indah hingga bagian yang paling Ia tak suka bersama pria
didepannya ini. Ryan menatap lekat Chaca, jemarinya tetap memetik senar-senar
gitarnya.
"Cha..." Lirih Ryan. Ia meletakkan gitarnya direrumputan hijau.
Dengan lembut tangan kekarnya menggenggam kedua tangan lentik Chaca. "Aku
amat merindukanmu, Cha!" Ryan menarik badan mungil gadis itu kedalam
pelukan hangatnya. Menumpahkan segala rasa rindunya. Sungguh, rasanya Ryan tak
ingin melepaskan pelukan ini. Ia takut—Chaca takkan mau menerima pelukannya
lagi suatu saat.
"Aku juga, Ry." Ucap Chaca hampir tak bersuara, namun pendengaran
Ryan dengan jelas dapat merekam ucapan hawa dipelukannya itu. Butiran bening
yang sedari tadi memang sudah terbendung dimatanya kini pecah, mengalir lembut
dilembar pipinya—hingga jatuh pada bahu Ryan.
Dilepas pelukan eratnya itu, kemudian menatap
kedua manik Chaca yang tidak menatapnya namun menyorot rerumputan. Ryan
mengangkat dagu Chaca halus, membaca sebuah pesan yang ada dimatanya. "Maaf,
aku hanya bisa berkata maaf walau kamu butuh lebih dari sekedar maaf. Aku ga
tau apa yang dapat aku lakukan lagi untuk dapat kata maaf darimu selain kita
harus putus. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Acha Dellin Aurora! Sumpah demi
Tuhan hidupku terasa remuk sejak kamu mencampakanku." Ucap Ryan
terdengar amat niris. Chaca menatap dalam pria dihadapannya—mencari ketulusan
sesungguhnya. Dan memang, tidak ada kebohongan terpancar dimata elang itu.
"Dari awal semuanya memang cuma sandiwara. Tanpa kata putus, kita emang
belum pernah jadian." Jawab Chaca dengan nada pelan.
"Ta-tapi...Aku..." Ryan tidak tahu harus menjawab apa. Ia bingung.
"Kecuali jika kau mengulangi saat-saat itu lagi." Ucap Chaca
cepat, kemudian mengalihkan pandangannya dengan senyum tipis. Mata Ryan
terbelalak.
"Apa? Bisa ucapkan lagi? Please!"
"Tidak ada siaran ulang"
"Aa, aku mendengarnya dengan jelas. Tentu, aku bisa mengulanginya kembali.
Tanpa paksaan dan tanpa sandiwara!!" Ryan berkata dengan wajah
berbinar-binar. "Tapi, kamu sedang seriuskan?"
"Apa aku terlihat sedang membuat lelucon?" Tanya Chaca balik. Ryan
tersenyum lebar dan menggeleng kuat. Dia menarik lengan Chaca ketengah rerumputan.
Ryan kemudian berdiri dengan satu kaki tertekuk dan kaki yang satunya bertumpu
pada lututnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.
"Ekh...Hem Ekhem..." Chaca terkekeh kecil melihat Ryan
berdeham-deham dengan sengaja seperti itu.
"Umm, Acha Dellin Aurora...Apa
kau ingin menjadi pacarku untuk waktu yang tidak ditentukan tanpa ikatan
sandiwara atau taruhan dan semacamnya aku meminta dengan setulus hatiku?"
Ucap Ryan seperti seorang penghulu.
"Ini ceritanya lagi ngajak pacaran atau nikah?" Tanya Chaca makin
tertawa geli.
"Pinginnya sih langsung nikah"
"Hah?"
"Hehe, canda chaa. Jadi, kamu mau jadi pacar aku?" Ulang Ryan
dengan mimik serius. Chaca tidak langsung menjawab. Ia nampak terlihat
berpikir, membuat Ryan mulai terbayang-bayang Chaca akan menolaknya.
"Emang pingin banget?”
“Nyebelin yaa..” Ryan menampilkan mimik sebalnya. Chaca menahan tawanya
melihat Ryan yang Nampak seperti anak kecil yang es krimnya diambil.
“Aku mau” Jawab Chaca pada akhirnya, wajahnya menunduk saat mengucapkan dua
kata itu.
Hati Ryan benar-benar seperti bunga yang telah mekar sempurna. Rasanya Ia ingin membawa Chaca terbang jauh ke langit tinggi—jika Ia bisa. Karena kebahagiaan yang memenuhi perasaannya. Langsung saja Pria itu mengangkat tubuh mungil gadis yang baru saja berjabatan sebagai kekasihnya tinggi-tinggi, kemudian diajak berputar-putar."Aaa! Ryan berhenti !! Pusing..." Chaca menutup kedua matanya erat. Ryan berhenti dan menjatuhkan Chaca tepat tanpa jarak dengannya. Ia memperhatikan seluk-beluk wajah Chaca tersenyum.
Hati Ryan benar-benar seperti bunga yang telah mekar sempurna. Rasanya Ia ingin membawa Chaca terbang jauh ke langit tinggi—jika Ia bisa. Karena kebahagiaan yang memenuhi perasaannya. Langsung saja Pria itu mengangkat tubuh mungil gadis yang baru saja berjabatan sebagai kekasihnya tinggi-tinggi, kemudian diajak berputar-putar."Aaa! Ryan berhenti !! Pusing..." Chaca menutup kedua matanya erat. Ryan berhenti dan menjatuhkan Chaca tepat tanpa jarak dengannya. Ia memperhatikan seluk-beluk wajah Chaca tersenyum.
Gue emang bego pernah mainin
cewek sebaik dan sesempurna lo! Tapi, gue adalah cowok paling beruntung karena
bisa memiliki hati lembut lo itu! Percaya sama gue...Ga akan gue melepas lo
dari hidup gue...Akan gue bahagiain lo sebahagia mungkin bersama gue, karena lo
udah seperti bagian dari diri gue Acha Dellin Aurora.
FINISH...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar