Kamis, 15 November 2012

Only You (Part 2 of 2)


***
#BUKK! #BUKK! #BUKK! 

         Tiga bogeman keras dari Kevin menghantam wajah Ryan. Suasana belakang sekolah amat riuh, beberapa saling berbisik dan mendekati temannya. Beberapa dari mereka juga bersorak menyaksikan pertunjukan dua pria itu.
"Lo berani mainin Chaca sama aja lo cari mati sama gue!" Kelakar Kevin dengan emosi menggebu, kemudian #BUKK satu pukulan lagi terdampar dipipi Ryan.

"Apa maksud Lo, hah?" Sewot Ryan mencoba bangkitkan badannya, sedangkat Kevin masih tetap mencengkeram kerah kemeja Ryan yang berada dibawah badannya amat erat.

"Ga usah pura-pura bego, Banjingan Lo!" Seseorang menahan lengan Kevin ketika Ia akan menambah bogemannya di wajah Ryan yang sudah babak belur—Chaca.

"Kalian kenapa? Kevin! Apa yang Lo lakuin?" Ucap Chaca setengah berteriak. Butiran bening tengah terbendung dimatanya. "Berhenti! Kevin, berhenti." Chaca kini meminta dengan nada halus. Kevin melepas cengkaramannya pada kerah kemeja Ryan kasar, kemudian berdiri menjauhinya. Baru saja Chaca akan menghampiri Ryan, lengannya dicekal dan ditarik menjauhi kekasihnya itu.

"Lo apa-apaan sih, Lepas! Gue mau liat keadaan Ryan." Chaca berusaha menepis tangan Kevin yang menggenggamnya, namun nihil.

"Cowok kayak gini yang Lo anggap sebagai pacar? Lo harus tau, Cha! Ceweknya itu bukan cuma Elo!! Lo dibegoin Cha ama dia!"

"Apa maksud Lo?" Tanya Chaca menatap Kevin menunggu jawaban.

"Cha, jangan dengerin omongan dia! Aku bisa jelasin!" Seru Ryan yang dengan gontai dapat berdiri dengan sempurna. Chaca tak mengiraukan Ryan. Tiba-tiba seorang cewek datang menghampiri Ryan dengan mimik khawatir.

"Yan, kamu gapapa? Tadi aku denger kamu dipukulin. Siapa yang mukulin kamu?" Tanya gadis itu bertubi-tubi seraya memegang lembut lembar pipi Ryan. Chaca yang melihat itu cuma terpelongo ga percaya, kini Ia paham maksud ucapan Kevin. "Apa ini gara-gara Lo?" Tuduh Gadis itu menatap Chaca tajam.

"Gue ga ngerti. Lo siapa?" Tanya Chaca datar.

"Gue Anggun. Pacar Ryan."

"Stoppp! Cha, kamu harus denger penjelasan aku dulu." Ryan menatap Chaca penuh harap. Belum ada reaksi atau balasan balik dari Chaca sedari tadi.

"Sejak kapan Lo pacaran ama Ryan?"

"Chaa!" Pekik Ryan tercekat karena menahan perih dibibirnya yang mengeluarkan bercak darah.

 "Yang jelas gue ini pacar benerannya Ryan, ga kayak Lo. Cewek yang cuma dijadiin taruhan ama Ryan dan temen-temennya. Lo seharusnya nyadar diri dong! Mana mungkin seorang Ryan suka apalagi sampe nembak cewek kayak Lo buat jadi pacarnya! "

          Hati Chaca bagai tersayat-sayat pedang runcing. Ternyata benar, sakit hati itu memang tidak enak. Amat menusuk. Lebih sakit dari pada tergores silet. Lebih perih dibandingkan terguyur air panas. Chaca dapat merasakannya sekarang. Sungguh Ia merasa dirinya seperti gadis tidak tau malu. Chaca teringat akan malam itu...Malam Ia dengan polosnya menerima pernyataan suka dari pria yang memang Ia sukai sejak lama, namun ternyata orang yang Ia kagumi itu justru mengiris-iris hatinya.

"Jadi..." Lirih Chaca. Air matanya sudah tak dapat terbendung lagi dan pecah begitu saja.

"Chaa...kamu harus denger penjelasan aku dulu! Semua yang kamu denger ga seperti yang kamu pikirin." Ryan kini berada dihadapan gadis itu, gadis yang telah sangat Ia sayangi. Chaca menepis kedua tangan Ryan yang sempat menggenggam kedua tangannya.

         Tanpa berpikir panjang Chaca berlari meninggalkan tempat penuh orang namun sunyi tersebut. Kevin dan Anita memilih membiarkan sahabat mereka itu, sepertinya Chaca butuh waktu untuk sendiri.
"Puas Lo udah buat sahabat gue kayak gitu? Brilliant! Lo udah nyakitin perasaan cewek polos yang amat sayang sama Lo! Great!" Seru Anita marah tepat didepan wajah Ryan. Nampak kekesalan terpancar jelas diwajahnya.

Ryan terdiam. Dia emang salah, tapi kini keadaannya berbeda. Sekarang dia benar-benar merasa dirinya brengsek. Dia melukai perasaan gadis yang Ia cintai. 

***
         Hari ini adalah hari yang siswa-siswi tunggu-tunggu yaitu pengumuman kelulusan akan dibagikan. Rata-rata yang datang adalah orang tua siswa, namun ada juga beberapa yang datang bersama atau bahkan sendiri karena orang tua mereka sedang mengalami kesibukan.

         Ibunda Chaca berjalan menuju kelas putrinya, karena disana tempat pengumuman dan pemberian hasil nilai. Setelah kurang lebih satu jam, wanita paruh baya itu keluar dengan senyum merekah sambil memandang kertas ditangannya.

"Permisi, Tante? Tante ibunya Chaca, kan?" Ucap pria yang tiba-tiba muncul didepan Mama Chaca.

"Iya, ada apa ya?"

"Saya Ryan, Tante. Kalau boleh tau Chaca ada dirumahnya atau engga? Bisa saya bertemu Chaca, Tante? Ada hal penting yang harus saya bilang ke dia." Jelas Ryan agak gugup. Ia takut Ibunda Chaca sudah tau permasalahannya dengan Chaca.

"Ohh, ternyata kamu Ryan yang suka Chaca ceritain itu ya? Chaca ada kok dirumah. Kalau mau ketemu Chaca bareng aja ama tante, ini tante mau pulang. Kasian Chaca cuma sama pembantu di rumah." Balas Mama Chaca dengan senyum. Ryan bernafas lega mendengarnya. Berarti Ia bisa bertemu Chaca dan menjelaskan semuanya.

         Sesampainya di rumah Chaca. Ryan diizinkan untuk menghampiri Chaca di kamarnya. Dengan agak ragu Ryan mengetuk pintu kamar berwarna merah muda dihiasi tirai gantung berbentuk Cinta dan Bunga. 
"Masuk aja, ga Chaca kunci kok." Teriak seseorang yang sudah dapat ditebak itu adalah Chaca.

         Sambil menarik nafas panjang Ryan masuk kedalam tanpa bicara apapun. Tidak dilihatnya Chaca diruangan yang berdominasi warna merah muda dan ungu tersebut. Ia hanya mendengar suara gemercik air dari balik pintu yang sepertinya sebuah kamar mandi. Ryan berjalan melihat-lihat bingkai foto yang ada disana.
          Ada berbagai macam foto Chaca dengan gaya berbeda-beda dideretan bingkai yang ada diatas kepala tempat tidurnya. Ryan tersenyum sendiri melihat wajah imut Chaca dibalik kaca itu.

         Pandangan Ryan jatuh pada sebuah foto yang terletak diatas rak samping kasur Chaca. Disana terdapat keluarga kecil yang terlihat bahagia. Ryan yakin anak kecil ditengah kedua orang tua itu adalah Chaca. Tidak heran Chaca tumbuh menjadi gadis yang manis, karena sejak kecil pun sudah terlihat lucu.

            #Cekrek! Pintu kamar mandi terbuka dan terlihat Chaca yang sudah lengkap dengan kaos putih longgar dan hotpantsnya keluar seraya mengeringkan rambut cokelat panjangnya itu dengan handuk.
"Elo? Ngapain lo di rumah gue?" Tanya Chaca ketus saat menyadari ada Ryan sedang duduk disisi kasurnya.

"Emang kenapa? Ga ada salahnya kan kalau aku main ke kamar pacar aku sendiri." Dengan watadosnya Ryan berucap seperti itu. Chaca terlihat geram melihat Ryan yang bersikap seperti tidak punya masalah, begitu santai. 

"Lo bukan pacar gue lagi. Cepet lo keluar atau gue teriak biar lo diusir ama mama gue!" Usir Chaca kini berdiri disamping tempat tidur dimana Ryan duduk disana. Ryan berdiri dari tempatnya. "Sekarang Lo ke—" Ucapan Chaca terhenti karena Ia tidak bisa membuka pintu kamarnya.

"Ini kenapa..Bibiii pintunya ter—mmmb!" Ryan menarik Chaca dan menutup mulut gadis itu dengan telapal kanannya, sedangkan tangan kirinya menahan pinggang belakang Chaca.

"Sst! Gimana kalo ada yang dateng? Aku yang mengunci pintu kamar kamu." Ucap Ryan. Chaca menatap tajam Pria dihadapannya itu seraya mencoba berbicara. Tiba-tiba Ryan tertawa kecil. "Kamuu lucu ya kalo lagi marah, ngegemesin!" Ryan terkekeh menatap wajah Chaca yang tepat didepan wajahnya. Tangannya melepas mulut Chaca.

"Mau apa lo kesini?" Tanya Chaca to the point saat Ryan telah melepas bekapannya.

"Aku mau jelasin tentang kejadian minggu lalu"

"Semua udah jelas. Lo ga perlu jelasin apapun lagi, jadi mending sekarang lo pulang." Ucap Chaca sinis.

"Kamu salah paham, Cha! Emang aku bego udah mainin dan jadiin kamu bahan taruhan tapi aku bener-bener sayang Cha sama kamu! Aku udah suka ama kamu dari awal kita jadian malam itu." Jelas Ryan, tapi Chaca justru memutar maniknya ke arah lain. Bermaksud tidak mengacuhkan Ryan. "Cha...Untuk kali ini aku ga lagi main-main atau bohongin kamu, Cha! Aku serius, aku bener-bener sayang sama kamu!" Lanjutnya lirih.

"Terus, Anggun dan pacar lo yang lainnya mau dikemanain?" Ryan nampak mulai sebal.

"Semenjak insiden itu, aku udah ga ada hubungan apa-apa lagi sama Anggun. Sejak sama kamu semua rasa aku ke Anggun itu udah kayak ga berarti, semuanya beralih kekamu. Ga ada yang lain, Cha! Cuma kamu." Tambah Ryan geregetan.

"Oh"

"Kok cuma oh sih?"

"Terus, gue harus jawab apa?" Tanya Chaca terdengar menyebalkan kini menatap bola mata Ryan.

"Cha, please percaya aku. Aku ga mau hubungan kita cuma sampai sini aja." Ucap Ryan lembut. Lengan kanannya ikut melingkar pinggang Chaca menemani lengan kirinya yang sedari tadi melekat disana tanpa Chaca sadari.

"Sorry, gue ga bisa." Ucap Chaca ingin melepas tangan Ryan, namun Ryan justru memeluknya. Erat.

"Cha, please percaya sama aku. Aku bakal ngelakuin apapun supaya buat kamu maafin aku, Cha!"

"Kita putus"

"A-apa?"

"Gue minta kita putus, dan gue maafin lo."

***

"Udahlah yan! Lagian, cewek ga cuma dia! Ngapain lo jadi kayak orang frustasi gitu?" Dido dan teman-teman Ryan lainnya terkekeh melihat so'ib-nya itu tengah melamun bersama gitar akustik ditangannya. Mereka sedang berada di sebuah Kafe dekat sekolah untuk merayakan kelulusan mereka dengan acara makan bersama.

          Ryan menatap senar gitar ditangannya—termenung. Tiba-tiba wajah Chaca muncul dibenaknya, walau memang sedari tadi hanya gadis itu yang ada dikepalanya. Namun kini pikirannya berputar cepat mengingat hari beberapa bulan lalu, percakapan itu kembali terngiang dikepalanya...
"Hobi kamu apa?"

"A-aku suka denger musik"  

"Ohh, sama berarti. Lagu kesukaan kamu apa?" 

"Banyak sih, salah satunya yang paling aku suka Armada...Pemilik Hatiku." 

"Wah, sama lagi. Kita jodoh ya!"

"Yee, pingin banget sama."

"Iya, Yan! Cewek kuper gitu aja lu pusingin amat, Iya ga?" Indra membuyarkan putaran memori yang sedang mengalun dipikiran Ryan tentang Chaca. Teman-temannya yang lain menyetujui omongan pria itu. Ryan yang sedari tadi tak bergeming dan tengah sedikit berbinar kini kembali down. Ryan bangkit dari duduknya dan mendekati Indra dengan tangan mengepal. "Heh, kenapa lo?" Ucap Indra terlihat tidak terima saat Ryan menarik kerah kemeja biru kotak-kotak pria itu.

"Ini juga karena, Lo! Karena taruhan bodoh yang lo ciptain itu!" Bentak Ryan, kemudian satu pukulan melayang sempurna dipipi Indra—membuatnya tersungkur dari kursi.

" Lo juga terima, kan tawaran gue itu? Kalau Lo ga terima saat itu mungkin Lo ga bakal kayak orang gila sekarang! Kenapa Lo nyalahin gue, hah? Itu tuh murni kesalahan Lo dan pantes lo dapetin! Lo itu cowok yang ga punya pendirian!" 

"DIEM LO!" Bentak Ryan. Teman-temannya yang lain ikut bangkit untuk meredakan suasana panas kedua pria ini. Sejak kejadian tadi pun para pelanggan di Kafe itu terpaku menyaksikan pertunjukan lewat tadi. "Arrrh!" Ryan membanting kepalan tangannya, kemudian beranjak dari Kafe itu bersama gitar akustiknya.

           Kedua kakinya melangkah lesu menuju taman tempat mereka—Dia dan seorang gadis yang sulit dikatakan sebagai mantan dalam dirinya. Ia benar-benar sudah seperti orang gila, atau lebih tepatnya orang stres—Walau perbedaannya tipis. Rambut hitamnya itu acak-acakkan oleh ulahnya sendiri. Saat sampai didekat lampu penerangan jalan yang tengah padam disamping sisi taman. Langkahnya terhenti dan terdiam.

           Sorot matanya tertuju pada seorang gadis yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Seorang gadis yang betul-betul hampir membuatnya gila saat ini—Chaca. Gadis itu tengah duduk dibangku kayu disana, jemarinya bermain pada kelopak-kelopak setangkai bunga matahari ditangannya. Ingatannya beberapa menit lalu itu kembali teringat. Walau sedikit ragu untuk melakukannya. Tapi, dia tidak akan tau hasilnya jika tidak mencoba, bukan? You'll never know if you never try.

            Ryan mencuci wajahnya dengan air keran yang ada didekatnya dan merapihkan rambutnya yang sempat amburadul. Ia menarik nafas panjang, kemudian melangkah pelan menghampiri gadis tercintanya yang sedang duduk termenung disana. Ryan mulai memetik senar gitar ditangannya sambil terus melangkah lambat. Chaca terenyak mendengar alunan lagu. Ia menoleh setelah Ia pikir itu adalah suara seorang penyanyi jalanan yang siap menyanyikan lagu favoritnya, namun senyum itu runtuh melihat siapa yang nyatanya kini tengah mendekatinya. Chaca terpaku.

Lihat ku disini
Kau buat ku menangis
Tak ingin menyerah
Tapi tak menyerah 
Mencoba lupakan
Tapi ku bertahan
Kau terindah kan selalu terindah
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku

Mungkin lewat mimpi
Ku bisa tuk memberi
Ku ingin bahagia
Tapi tak bahagia
Ku ingin dicinta
Tapi tak dicinta

Kau terindah kan selalu terindah
Aku bisa apa tuk memilikimu
Kau terindah kan selalu terindah
Harus bagaimana ku mengungkapkannya
Kau pemilik hatiku 

     Chaca yang sudah berdiri memperhatikan pria yang Ia rindukan beberapa hari ini sayu. Ingin rasanya Ia menangis setiap mengingat memori indah hingga bagian yang paling Ia tak suka bersama pria didepannya ini. Ryan menatap lekat Chaca, jemarinya tetap memetik senar-senar gitarnya. 

"Cha..." Lirih Ryan. Ia meletakkan gitarnya direrumputan hijau. Dengan lembut tangan kekarnya menggenggam kedua tangan lentik Chaca. "Aku amat merindukanmu, Cha!" Ryan menarik badan mungil gadis itu kedalam pelukan hangatnya. Menumpahkan segala rasa rindunya. Sungguh, rasanya Ryan tak ingin melepaskan pelukan ini. Ia takut—Chaca takkan mau menerima pelukannya lagi suatu saat.

"Aku juga, Ry." Ucap Chaca hampir tak bersuara, namun pendengaran Ryan dengan jelas dapat merekam ucapan hawa dipelukannya itu. Butiran bening yang sedari tadi memang sudah terbendung dimatanya kini pecah, mengalir lembut dilembar pipinya—hingga jatuh pada bahu Ryan.

      Dilepas pelukan eratnya itu, kemudian menatap kedua manik Chaca yang tidak menatapnya namun menyorot rerumputan. Ryan mengangkat dagu Chaca halus, membaca sebuah pesan yang ada dimatanya. "Maaf, aku hanya bisa berkata maaf walau kamu butuh lebih dari sekedar maaf. Aku ga tau apa yang dapat aku lakukan lagi untuk dapat kata maaf darimu selain kita harus putus. Aku sungguh-sungguh mencintaimu, Acha Dellin Aurora! Sumpah demi Tuhan hidupku terasa remuk sejak kamu mencampakanku." Ucap Ryan terdengar amat niris. Chaca menatap dalam pria dihadapannya—mencari ketulusan sesungguhnya. Dan memang, tidak ada kebohongan terpancar dimata elang itu.

"Dari awal semuanya memang cuma sandiwara. Tanpa kata putus, kita emang belum pernah jadian." Jawab Chaca dengan nada pelan.

"Ta-tapi...Aku..." Ryan tidak tahu harus menjawab apa. Ia bingung.

"Kecuali jika kau mengulangi saat-saat itu lagi." Ucap Chaca cepat, kemudian mengalihkan pandangannya dengan senyum tipis. Mata Ryan terbelalak.

"Apa? Bisa ucapkan lagi? Please!"

"Tidak ada siaran ulang"

"Aa, aku mendengarnya dengan jelas. Tentu, aku bisa mengulanginya kembali. Tanpa paksaan dan tanpa sandiwara!!" Ryan berkata dengan wajah berbinar-binar. "Tapi, kamu sedang seriuskan?"

"Apa aku terlihat sedang membuat lelucon?" Tanya Chaca balik. Ryan tersenyum lebar dan menggeleng kuat. Dia menarik lengan Chaca ketengah rerumputan. Ryan kemudian berdiri dengan satu kaki tertekuk dan kaki yang satunya bertumpu pada lututnya. Ia menarik nafas dalam-dalam.

"Ekh...Hem Ekhem..." Chaca terkekeh kecil melihat Ryan berdeham-deham dengan sengaja seperti itu.

"Umm, Acha Dellin Aurora...Apa kau ingin menjadi pacarku untuk waktu yang tidak ditentukan tanpa ikatan sandiwara atau taruhan dan semacamnya aku meminta dengan setulus hatiku?" Ucap Ryan seperti seorang penghulu.

"Ini ceritanya lagi ngajak pacaran atau nikah?" Tanya Chaca makin tertawa geli.

"Pinginnya sih langsung nikah"

"Hah?"

"Hehe, canda chaa. Jadi, kamu mau jadi pacar aku?" Ulang Ryan dengan mimik serius. Chaca tidak langsung menjawab. Ia nampak terlihat berpikir, membuat Ryan mulai terbayang-bayang Chaca akan menolaknya.

"Emang pingin banget?”

“Nyebelin yaa..” Ryan menampilkan mimik sebalnya. Chaca menahan tawanya melihat Ryan yang Nampak seperti anak kecil yang es krimnya diambil.

“Aku mau” Jawab Chaca pada akhirnya, wajahnya menunduk saat mengucapkan dua kata itu.

           Hati Ryan benar-benar seperti bunga yang telah mekar sempurna. Rasanya Ia ingin membawa Chaca terbang jauh ke langit tinggi—jika Ia bisa. Karena kebahagiaan yang memenuhi perasaannya. Langsung saja Pria itu mengangkat tubuh mungil gadis yang baru saja berjabatan sebagai kekasihnya tinggi-tinggi, kemudian diajak berputar-putar."Aaa! Ryan berhenti !! Pusing..." Chaca menutup kedua matanya erat. Ryan berhenti dan menjatuhkan Chaca tepat tanpa jarak dengannya. Ia memperhatikan seluk-beluk wajah Chaca tersenyum. 

  Gue emang bego pernah mainin cewek sebaik dan sesempurna lo! Tapi, gue adalah cowok paling beruntung karena bisa memiliki hati lembut lo itu! Percaya sama gue...Ga akan gue melepas lo dari hidup gue...Akan gue bahagiain lo sebahagia mungkin bersama gue, karena lo udah seperti bagian dari diri gue Acha Dellin Aurora.

FINISH...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar