Kamis, 16 Agustus 2012

Invisible (short story)

Heyyaaa~ Aku post cerpen nih! Sebenernya udah pernah dipost diblog lama aku, tapi blog usang itu terlupakan passwordnya. So, i repost ceritanya kesini deh. Owkeeey tak usah banyak cakap lagi...Happy reading gals^_^

CHECK THIS OUT...

    Matahari belum muncul di ufuk timur. Bulan pun masih menghiasi langit. Aku. Disini. Sendiri dalam kelamnya dunia baru. Aku ada, namun aku tak nyata. Aku ada di sekeliling mereka, berkelana. Aku tidak mati, belum. Namun aku sedang dalam proses menuju kematian, mungkin saat itu tiba. Aku akan benar-benar tak ada.

    Sinar. Itu namaku. Nama itu amat tepat untuk diriku. Aku ada saat sinar datang, aku pergi saat sinar tenggelam. Oleh sebab itu aku suka Matahari. Senyumku merekah saat menyaksikan mentari yang lambat laun menanjakhingga menyingkirkan bulan.

   Tanpa melangkah. Ku telusuri jalan raya ini dengan riang gembira. Aku bernyanyi senang di temani kicauan burung dara sambil menari-nari kecil. Betapa indahnya pagi ini. Tapi, aku terdiam di depan sebuah pagar besi yang terdapat barisan celah untuk melihat sesuatu di dalamnya. Seorang pria terduduk pada kursi rodanya dengan pandangan kosong. Aku melaju menghampirinya, menembus pagar ini.

    Aku sedikit membungkuk melihatnya lebih dekat, amat dekat. Ku perhatikan wajahnya, keningnya yang terbalut kain putih, ke dua mata elangnya yang kosong. Pandangannya beralih. Aku harap aku salah. Ia seperti tengah menatap bola mataku. Kepalaku menoleh ke belakang, tak ada apapun. Apa benar?

               "Kau kenapa melihatku seperti itu?" Sontak aku berdiri tegap dan agak menjauh. Dia benar-benar melihatku. Astaga, kenapa bisa?! Aku menoleh kiri-kanan. "Kamu bicara padaku?"Tanyaku membuka suara. Dia mengangguk tersenyum. Ku tutup mulutku dengan kedua telapakku terperangah.
               "Ya,aku melihatmu. Apa kau nyata?" Lidahku kelu mendengar pertanyaannya. Jemari tanganku tak hentinya bergerak sejalan dengan otakku yang terus berpikir.  "Aku nyata, tapi...tak sepenuhnya nyata. Jadi, aku sebetulnya nyata."Jelasku gugup. Dia menganggukan kepalanya dua kali. "Berarti kau hantu,ya?"Tambahnya dengan wajah penasaran. Mataku membulat seketika.
              "Bukan. Bukan. Belum sepenuhnya hantu, nanti. Ya, mungkin nanti. Tapi, belum. Ku harap sih tidak."Lagi-lagi aku tak dapat mengucapkan kalimat dengan tenang. Mungkin karena ini pertama kalinya setelah hampir dua bulan aku tak berbicara dengan seseorang, karena orang-orang tak dapat melihatku. Bahkan keluargaku pun tak bisa.

              "Oh"dehamnya pelan. "Namamu siapa?"Tanyaku. Belum ia menjawab, ada seorang suster datang dan membawanya masuk ke dalam gedung rumah sakit itu. Ia menoleh ke arahku sesaat. Aku kan bisa, kenapa aku tidak masuk saja?iya kan? Yup, aku pun masuk ke dalam gedung RS ini.

    Ku ikuti ia dan suster yang mendorong kursi rodanya melewati lorong rumah sakit. Mereka memasuki Lift, pria itu tersenyum melihatku yang berjarak 10 meter darinya. Saat pintu lift akan tertutup, dengat cekatan aku masuk sebelum kedua pintu otomatis itu menyatu. Yaa, walau sekalipun tertutup aku masih tetap bisa melewatinya.

              "Menikmati udara di sekeliling ikon hijau pun, aku tak bisa. Hanya berbaring menunggu kepastian. Keajaiban."Ucapku lirih menatap sesaat padanya, tersenyum tipis. Pria bernama Natan ini sedang berada di kasur empuknya, pria yang ku temui di halaman rumah sakit tadi. Ternyata namanya Natan. Dia baik, bahkan ia mau mendengarkan curahan hatiku.
             "Aku tak terlalu percaya dengan keajaiban. Jadi, intinya...Ragamu yang sesungguhnya itu sama seperti ku? terbaring di rumah sakit?"Dia nampak penasaran dan tak percaya. Aku mengangguk. Aku menghampirinya dan duduk di sisi kasurnya.
            "Tapi, aku belum menemukan dimana ragaku berada. Memang aneh, tapi sungguh. Aku bahkan tak tau tempat ini sebelumnya."Sambungku. Natan terdiam. "Apa kau tak coba untuk menemukannya?"
           "Selalu. Namun tak kunjung ku temukan, hingga suatu malam ada sumber suara yang memberitahuku bahwa saat waktunya tepat, aku akan terpanggil ke ragaku."Natan mengangguk-angguk.

     Lusanya aku bertemu dengan Natan lagi di rumah sakit ini. Kami berbincang sesekali bercanda. Terkadang orang-orang di sekitar ada yang menatap aneh ke arah Natan. Namun sepertinya ia tidak terlalu perduli tentang itu. Kami kan sedang asik bercengkerama di taman belakang rumah sakit ini.

              "Iya, sungguh. Bahkan adikku pernah berteriak Heeeey aku perompak di pantai kuta jadi kalian harus membayarku dua ribu jika ingin aman! Bayangkan, perompak mana yang memalak penduduk daratan dengan uang dua ribu rupiah?" Aku tertawa terpingkal-pingkal mendengarnya, dia pun begitu. Orang-orang makin menatap Natan heran, bahkan ada beberapa yang beranjak dari tempat. Takut mungkin.

             "Haha, ada-ada saja. Aduh, perutku sakit karena terlalu banyak tertawa. Hahaha."Ucapku di tengah tawaku sambil memegangi perutku. Makin lama tawaku mereda begitu juga Natan, aku memperhatikannya sesaat. Dia manis juga jika di perhatikan lebih jelas. Ehh? Berpikiran apa aku ini? Tidak benar.

            "Kau kenapa, Sin?"Tanya Natan dengan sunggingan senyum yang belum sepenuhnya pudar karena tawa tadi. Aku menggeleng cepat.

***

      Berhari-hari hampir dua minggu aku sering meluangkan waktu bersama Natan. Aku senang pada akhirnya ada juga yang menemaniku di hari-hari sepi tak pastiku ini. Terkadang dia menceritakan tentang status keluarganya yang sudah broken home. Tapi tentunya sebagai teman aku ingin mensupportnya supaya tidak sedih seperti pada saat aku bertemu dengannya pertama kali.

   Aku menari-nari kecil melewati bahu jalan ini. Suasana sedang cerah sekali. Pasti asik jika aku dan Natan bermain. Ku telusuri lorong rumah sakit, berhenti di depan kamar bernomor 224. Saat masuk. Keningku langsung berkerut. Karena pasien yang aku lihat adalah orang lain, bukan Natan temanku.

   Aku kembali ke belakang. Ahh, andai aku bisa bicara aku ingin bertanya dimana Natan. Oh Tuhan, aku kembali dengan wajah ku tekuk. Aku duduk di bangku taman rumah sakit yang biasa menjadi tempatku dan Natan berbincang ria.

    Waktu sudah hampir senja. Aku berkeliling kota iniKota yang tak ku ketahui sama sekali biodatanya. Aku berhenti pada sebuah restaurant. Aku melaju memasuki restaurant itu. Kiri-kanan. Aku menoleh kesana-kemari, entah mencari apa. Namun pandanganku berhenti pada sepasang kekasih yang sedang duduk di meja pojok restaurant. Aku mendekatinya kemudian duduk di meja makan belakang mereka, tepatnya di kursi.

   Andai aku nyata, aku pasti akan ajak Natan makan malam. Ehh? Tapi tak bisa. Masa wanita duluan yang mengajak pria dinner? Celotehku dalam hati. Aku bertopang dagu menatap mereka. Hingga mereka berdiri. Aku langsung terbelalak saat mengetahui pria dari sepasang kekasih ituNatan. Dia Natan. Aku sontak bangkit mengejar mereka dari belakang.
              "Apa seperti ini kamar lelaki?"Gumamku memperhatikan ruangan berantakan yang Natan masuki. Ia menoleh kaget kearahku, aku cuma menampilkan deretan gigiku padanya.
             "Lho?kok kamu ada di sini?"Ucapnya menatapku heran. Aku tertawa kecil dan mendekati balkon kamarnya. "Habis kau keluar rumah sakit ga bilang-bilang, jadi aku bikin kejutan deh ketemunya."Gurauku. Terdengar Natan mendengus pelan.
             "Wanita tadi itu siapa?"Tanyaku angkat bicara karena keheningan yang sempat terjadi. "Pacarku"jawabnya singkat. Aku langsung terlonjak kaget. Rasanya ada benda tajam menghantam dadakuSesak.
             "Ohh"tanggapku mencoba tenang. Natan mengganti bajunya, tentunya aku tak mengintip. Setelah itu ia tidur di kasur besarnya. Aku menatapnya sesaat, kenapa aku merasa ada perubahan pada Natan? Atau ini hanya perasaanku saja?
     Pagi menjelang. Aku melihat Natan yang sedang memakan sarapannya. Aku menghampiri dan duduk pada kursi di hadapannya. Ia tak melirik ke arahku sedikitpun. Aku mengetukan jemariku, walau tak timbul suara.
               "Umm, Natan...Apa kau mau menemuiku di rumah sakit tempatku berada jika suatu saat ruh-ku kembali ke ragaku?"Tanyaku semangat. Natan masih mengunyah makanannya. "Aku tak tau dimana rumah sakitmu, kau sendiri bahkan tak tau."Jawabnya datar.
              "Rumah sakit tempatku itu namanya Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok, tapi aku gatau kalau dari sini bagaimana kesananya."Ucapku lesu. Natan tak menanggapi ucapanku. Ia bangkit dari duduk nya dan sepertinya akan pergi kuliah. Aku menghela nafas saat ia benar-benar lenyap di balik pintu tanpa mengabaikan ucapanku. Huh, lebih baik aku berkeliling.

    Aku berkeliling tak tentu arah. Melihat ini dan itu. Pemandangan siang menjelang sore yang menyejukan. Pandanganku menyapu taman kota ini. Hingga aku agak menyipitkan kelopak mataku saat melihat seseorang tak jauh dariku. Dia? Dia pacar Natan, kan? Astaga, kenapa dia bersama pria lain? Aku mendekatinya. Mereka tak menyadariku, tentunya.  Dan, dan, Astaga! Mereka berciuman. Kenapa wanita ini tega pada Natan? Dengan amarah yang bergemuruh rasanya ingin ku memberikan telapak tanganku di pipi wanita itu.

  Dengan rasa dongkol aku berbalik kembali menuju rumah kediaman Natan. Ia belum pulang. Mungkin aku akan menunggunya. Pukul lima kurang ¼ sore ia datang. “Natan!”Panggilku padanya. Ia menoleh sesaat padaku setelah meletakkan tasnya pada gantungan di balik pintu. “Kekasihmu itu bukan wanita baik-baik, Natan!”Ujarku to the point. Natan Nampak kaget mendengar ucapanku.

             “Tau apa kau tentang kekasihku,hah?Kenal saja tidak.”Tanggap Natan ketus seraya berjalan menjauhiku menuju dapur, tapi aku mengikutinya.  “Kamu harus percaya, Natan. Tadi aku sendiri yang melihat kekasihmu sedang berciuman dengan pria lain.”Ucapku jujur. Ia membalikan badannya menghadapku, wajahnya memerah.

              “Kau! Apa-apaan kau bicara seperti itu, hah?Jangan menjelek-jelekan kekasihku di hadapanku! Sekarang juga kau PERGI DARI RUMAHKU!” Bentak Natan. Baru kali ini aku melihat Natan semarah iniDan itu padaku. Hatiku bagai teriris beribu pedang. Sakit. Ke-dua mataku terasa perih, namun tak keluar air mata. Aku, hanya menunduk. Aku terisak. Terngiang terus bentak-kan Natan di telingaku. Hingga saat itu juga aku merasaMelayang tinggi, setinggi-tingginya.

***

             “Dok ! Sust ! Putri saya Dok ! Cepat Doooook!!”Teriak Aisyah panik saat melihat Sinar yang kejang-kejang secara tiba-tiba. Para suster dan seorang Dokter memasuki ruang rawat Sinar. Firman, Ayah Sinar. Membimbing istrinya untuk keluar ruangan karena perintah Dokter yang menangani Sinar. Walau berat Firman dan Aisyah keluar ruangan dan duduk bersama di ruang tunggu. Para medis melaksanakan tugas mereka. Tak lama Dokter tadi keluar dari ruangan Sinar, saat itu pula orang tua Sinar bangkit dari duduk mereka. Dengan tujuan yang samaBertanya keadaannya.
            “Kita amat patut bersyukur pada Allah Yang Maha Kuasa. Setelah hampir tiga bulan Nona Sinar tidak tersadar dari komanya, sekarang ia sadar dengan keadaan yang tak dapat diduga. Ini sebuah keajaiban, Kanker Otak yang ada pada Nona Sinar kini tak berbekas. Tampak normal.”Jelas Dokter itu tersenyum.
           “Alhamdulillah, terima kasih ya Allah Engkau telah sembuhkan putriku.” Puji syukur Aisyah, begitu juga ayah Sinar. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan Sinar. Terlihat Sinar tersenyum pada ke-dua orang tuanya.
           “Ayah…Ibu, Aku kangen banget sama kalian.”Ucap sinar. Saat itu pula tangisnya pecah. Ia memeluk ke-dua orang tuanya erat. “Keajaiban itu emang ada, Bu. Dan aku benar.” Tambah Sinar terisak disertai senyum lemah. Aisyah tersenyum dengan air mata yang menyapu lembar pipinya.
            “Iya. Kamu benar, sayang. Keajaiban itu emang ada. Yang mustahil terkadang dapat menjadi kenyataan.” Balas Aisyah seraya mengelus lembut rambut putrinya itu dan mengecupnya. Seketika itu, terlintas wajah Natan dipikiran Sinar. Tak terasa butiran bening mengalir lagi dari kelopak matanya.

 Di  Lain Tempat…

             “Oh, Jadi benar ya? Kayak gini ternyata sikap asli lo, Hah? Cewek murahan !” Satu tamparan mulus mendarat di pipi Kekasihnya dariNatan. Wanita itu berderai air mata, meminta waktu untuk menjelaskan sesuatu yang sama sekali tak ingin Natan dengar.
             “Sayang, tunggu dulu! Kamu salah paham! Pliss, dengerin aku!”Pinta wanita itu memelas sambil memegang lutut Natan yang ada di hadapannya. Saat itu juga Natan menepis kaitan tangan wanita itu dan berlalu pergi. Berkali-kali wanita itu memanggil namanya, namun Natan terus berjalan tanpa memperdulikannya.
       Bego lo Natan! Kenapa gua gak percaya ucapan Sinar waktu itu, Bego Bego Bego! Sekarang sinar gak akan pernah kembali lagi. Natan menjambak rambutnya sendiri. Ia tersadar satu hal yang ia rindukan saat ini –Sosok periang Sinar di balik kehidupan kelamnya. Memoriam itu bagai terekam di kepalanya, menampilkan semua yang sering mereka lakukan bersama saat dirinya masih di rawat di rumah sakit.

               “RS Mitra Keluarga Depok. Ya, gua harus ke sana.”Gumam Natan pada dirinya sendiri. Ia mengambil kunci motornya dan berlalu menuju Rumah Sakit itu. Ia menempuh perjalanan 2 ½ jam.
         Setelah memarkirkan motornya Natan memasuki RS.Mitra ini dan naik ke lantai dua. Ia menghampiri seorang Suster yang tak jauh darinya. Dengan gelisah ia bertanya pasien bernama Sinar di Rumah Sakit ini. “Ada Tiga pasien yang bernama Sinar di rumah sakit ini. Maaf, untuk lebih jelas Pasien yang anda maksud mengalami penyakit apa?”Tanya Suster itu setelah mencari data pasien dari komputer. Natan terdiam, Sinar belum pernah memberitahu penyakitnya pada Natan.
                “A-a, Saya ga tau Sust dia sakit apa. Tapi yang saya tau dia ga sadar berbulan-bulan dari koma-nya.”Jelas Natan kemudian. “Ohh, Iya. Ada satu pasien kami bernama Sinar Zulaika Utama yang belum lama ini tersadar dari koma-nya. Mari saya antar ke ruangannya.”Jawab Suster itu ramah. “Terima kasih,Sust!”Ucap Natan senang.
               “Permisi, Nona Sinar. Ada yang ingin bertemu dengan anda.” Seorang Suster muncul dari balik pintu ruang rawat Sinar yang sedang duduk di kasurnya, ia tersenyum mengizinkan. Seperdetik kemudian, Kedua mata Sinar membulat melihat siapa yang datang.
                “Natan” Lirih Sinar tercengang. Natan mendekati Sinar dan berdiri di samping kasur wanita ini. Lagi-lagi Sinar menangis. Perlahan jemari Natan menyapu air mata yang mengalir pada lembar pipi Sinar lembut. “Aku percaya denganmu. Maaf aku baru sadar sekarang.”Ucap Natan menatap Kedua manik Sinar dalam. Ke-dua orang tua Sinar Nampak bingung, namun mereka mengerti dan keluar dari ruangan SinarMeninggalkan mereka berdua.
                “Jadi?Kamu udah tau?” Tanya Sinar heran. Natan mengangguk. Sinar tersenyum mendengarnya. Dalam sekejap ia memeluk Natan eratSeerat-eratnya. “Aku mencintaimu”bisik Sinar tiba-tiba, sangat lirih. Namun Natan tetap mendengarnya. Natan melepas pelukannya dan memegang kedua bahu Sinar. Wajah Sinar mulai memerah, bercampur rasa malu dan juga takut.
                “Aku cinta juga ga yaa?”Tanya Natan tersenyum jahil di susul dengan tawa kecil. Sinar mencubit pelan perut Natan. "Nyebelin ah"Celoteh Sinar cemberut.
    Tak henti disana, Sinar menggelitiki NatanLagipula infuse di tangannya sudah di lepas. “Ssst!”Desis Natan saat sudah dapat mengunci ke-dua tangan Sinar. Mereka saling bersitatap. Makin lama wajah Natan mendekat ke wajah Sinar. Semakin dekat. “Aku juga mencintaimu, Sinarku.” Bisiknya lembut. Tulus.


SELESAI...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar